- Back to Home »
- Berita Nasional »
- Studi Banding DPR Yang "Salah Alamat" Di Jerman
Posted by : Marketing IndiHome
Senin, 26 November 2012
Studi Banding DPR Yang "Salah Alamat" Di Jerman - "Mereka seharusnya bisa lewat riset dulu lewat internet dan tidak perlu banyak-banyak yang datang."
Pada Senin (19/11) pukul 10.00 pagi, rombongan anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang berjumlah delapan orang laki-laki dan satu orang perempuan serta didampingi beberapa orang dari pihak KBRI tiba di DIN (Deutsches Institut für Nörmung) dengan menggunakan bus.
Kedatangan mereka bermaksud untuk studi banding terkait pembuatan draft Rancangan Undang-Undang Keinsinyuran.
Rombongan yang dipimpin oleh Wakil Ketua Badan Legislasi, Sunardi Ayub, langsung disambut oleh pihak DIN.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi DPR, Ignatius Mulyono, mengungkapkan studi banding itu penting karena mereka ingin mengkaji bagaimana aturan keinsinyuran dibuat. Namun, ternyata pada studi banding hari pertama tersebut, mereka sudah salah alamat.
"DIN itu badan standarisasinya Jerman namun nonprofit, lepas dari pemerintah. DIN tidak punya kekuatan hukum," ujar salah seorang anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Berlin, Eko Primabudi, yang turut mengikuti pertemuan tersebut, saat dihubungi ANTARA News, Minggu (25/11). PPI Berlin juga mem-posting video kunjungan DPR ke DIN itu di YouTube.
Salah alamat, karena kunjungan ke DIN tidak berhubungan langsung dengan RUU Keinsinyuran. DIN
merupakan badan yang menangani standarisasi produk dan proses produksi dari berbagai bidang keteknikan di Jerman. DIN tidak berkompetensi mengatur profesi dan berkapasitas dalam bidang legislasi.
Ironisnya, hal itu pun baru diketahui anggota DPR saat pertemuan. Ini menunjukkan bahwa sebelum mereka plesir tidak ada riset yang mendalam.
"Jadi tidak ada riset kan?" kata Eko.
Tidak terkoordinasi baik
Kunjungan tersebut juga terkesan tidak dikoordinasi dengan baik. Pada saat DIN hendak memberikan pemaparan ternyata staf KBRI menjelaskan bahwa mereka harus menerjemahkan apa-apa yang disampaikan DIN ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut Eko, staf KBRI pun secara dadakan didaulat menjadi penerjemah ditambah lagi mereka tidak menguasai bahan dan kurang memahami istilah-istilah teknis yang disampaikan sehingga pemaparan pun berlangsung cukup canggung.
"Ketika mau dimulai, tiba-tiba staf KBRI bilang saat presentasi hendaknya pelan-pelan karena mau diterjemah per kalimat ke bahasa indonesia. Kaget dong orang DIN-nya, kok begini," jelas Eko.
"Pemaparannya jadi tidak enak gitu karena kan susah ya seperti itu ditambah lagi orang KBRI ini dadakan disuruh menjadi penerjemahnya," tambah Eko.
Tiga mahasiswa yang ikut dalam pertemuan tersebut beberapa kali membantu menjelaskan istilah-istilah teknik mengenai standarisasi karena penerjemah kurang memahami.
Kemudian usai DIN memberikan pemaparan dimana menurut Eko beberapa anggota tidak begitu memperhatikan, sesi tanya jawab pun dibuka. Hanya beberapa anggota DPR yang aktif bertanya, itu pun menggunakan bahasa Indonesia dan harus diterjemah ke bahasa Inggris oleh staf KBRI. Sementara yang lain sibuk dengan gadget masing-masing.
Salah alamat
"Salah satu anggota DPR bertanya 'ada tidak peraturan DIN yang memberikan standar insinyur?'," tutur Eko.
Eko mengatakan hal itu jelas membingungkan DIN karena mereka mengatur standarisasi produk dan proses produksi bukan profesi.
Namun, DIN tetap berusaha menjawab bahwa di Jerman ada negara bagian masing-masing yang membuat undang-undang sendiri.
Pertanyaan tersebut menurut Eko diulang-ulang terus sehingga suasana pun menjadi canggung. Pertanyaan kedua, mereka bertanya "seandainya ada proyek yang gagal, misal jembatan direncanakan 50 tahun ternyata hanya bertahan 10 tahn, sanksinya bagaimana?" lanjut Eko.
"DIN bingung jawabnya karena itu juga bukan kompetensi mereka. Tetapi DIN menjawab singkat jika proyek itu sesuai standar nanti standarisasi akan direvisi, mungkin ada yang tidak sesuai dari standar kami," jelas Eko yang menggambarkan pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan mudah karena banyak faktor yang mempengaruhi kegagalan suatu proyek.
Saat pertemuan masih berlangsung, sekitar pukul 11.45 ternyata ada dua anggota DPR, satu laki-laki dan satu perempuan, yang datang terlambat ke DIN.
Mereka bahkan masih membawa koper masing-masing dan menunggu di lobi hingga pertemuan selesai sekitar pukul 12.10. Satu anggota DPR laki-laki sempat merokok di luar gedung DIN.
Kunjungan anggota DPR yang kabarnya menghabiskan dana milyaran rupiah itu juga katanya akan mengunjungi lembaga dewan insinyur, perguruan tinggi teknik, organisasi insinyur, dan dewan perwakilan rakyat daerah namun jadwal mereka tidak dapat dilacak anggota PPI Berlin.
Menurut Eko, kunjungan anggota DPR kali ini sulit dilacak. Dari website DPR pun tidak ada info lengkap mengenai kunjungan kerja sejumlah anggota DPR tersebut.
"Biasanya kalau mereka datang kita tahu, tetapi ini susah dicari," ujar Eko yang usai kunjungan di DIN para mahasiswa tidak mendapat info lagi mengenai jadwal selanjutnya para anggota DPR RI di Berlin.
Eko menambahkan, dari pembicaraan yang ia ikuti sekitar dua jam itu bukan lah hal yang harus diikuti belasan anggota DPR. Informasi-informasi yang dibahas pun sebenarnya bisa diakses lewat website ataupun email.
"Mereka seharusnya bisa lewat riset dulu lewat internet dan tidak perlu banyak-banyak yang datang," katanya.
Ia menambahkan PPI Berlin tidak bermaksud menolak kunjungan tersebut jika kunjungan itu memang sangat penting dan diperlukan.
"Kita bisa kok bantu mereka melakukan riset agar mereka tidak salah alamat. Tetapi nyatanya mereka tidak pernah minta bantuan dan tahu-tahu sudah datang," katanya.
[ sumber ]