Tampilkan postingan dengan label sejarah Indonesia masa kolonial. Tampilkan semua postingan
PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR ABAD 19
Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tenaga kerja dan melimpah di tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hal ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem perkebunan dimulai dengan melalui pembukaan penaman modal dan teknologi dari luar, dan memanfaatkan tanah tanah dan tenaga kerja yang tersedia di daerah jajahan.
A. Latar Belakang
Pada abad XIX pertumbuhan perekonomian Belanda memasuki masa industrialisasi. Para pemilik modal berupaya mencari daerah baru. Mereka mendesak pemerintah agar membuka perkebunan-perkebunan di daerah jajahan, salah satunya Hindia Belanda bagi modal-modal asing.
Perkebunan di Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera Timur merupakan daerah perkebunan Tembakau, Karet, Kelapa Sawit. Daerah Sumatera Timur merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan sejak J. Nienhuys membuka perkebunan Tembakau disana, tahun 1864. Tembakau Deli yang menjadi komoditas ekspor sehingga menjadi terkenal di pasaran Eropa.
Keberhasilan yang diperoleh Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik perhatian para pengusaha perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan investasi di sektor agrobisnis Sumatra Timur. Prioritas komoditi yang mereka tanam adalah Tembakau yang sangat terkenal di pasaran Tembakau Amsterdam, kemudian menyusul karet dan kelapa sawit.
Perkembangan yang didukung dan disertai dengan penegakan kekuasaan kolonial Belanda di Sumatra Timur semakin dipicu oleh keluarnya Agrarische Wet tahun 1870 yang mengatur tentang kepemilikan tanah. Meskipun pada mulanya ditujukan bagi Jawa dan Madura, namun kemudian Undang-Undang ini diterapkan juga dengan peraturan lokal di Sumatra Timur. Kemudahan diperoleh setelah adanya kejelasan tentang status kepemilikan tanah oleh penduduk yang memperlancar persewaan lahan.
Sumatera Timur berkembang menjadi perkebunan yang besar. Tahun 1916 tercatat 320 perusahaan besar ( tidak termasuk cabang) yang beroperasi didareah Deli Serdang sekitar 120 perusahaan, Langkat 67 perusahan, simelungun 51 perusahaan dan Asahan 82 perusahaan.
Di Sumatra Timur berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah yaitu Vorstdomein dan Volksdomein. Menurut sistem Vorstdomein raja selaku kepala negara dianggap sebagai pemilik dari semua tanah dan menyerahkan kepada para kawulanya untuk digarap. Rakyat yang menggarap tanah-tanah tersebut wajib menyetorkannya kepada raja sebagian besar hasilnya sebagai upeti, sedangkan sisanya digunakan mereka untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam hal ini raja atau sultan mempunyai hak untuk membagi-bagikan hak garap dan hak pakainya, namun tetap menguasai hak milik sepenuhnya atas tanah.
Menurut prinsip Volksdomein tanah merupakan hak milik dari individu yang membuka dan menggarapnya secara rutin. Selama dia menghuni dan mengerjakan tanah tersebut, maka dia masih memegang kepemilikannya yang diakui secara komunal oleh masyarakatnya. Perkembangan lebih lanjut menjadikan tanah-tanah semacam ini sebagai tanah bersama (tanah komunal) dan diakui sebagai tanah adat dengan hak ulayat yang berlaku. Penggunaan tanah tersebut disahkan selama kepentingan adat menuntutnya dan tidak ada pelanggaran atas aturan adat.
Para pengusaha perkebunan besar hanya mengakui raja sebagai kepala negara atau penguasa tanah semuanya. Oleh karena itu negosiasi dan kontrak dibuat dengan raja/sultan yang akan menyerahkan lahan wewenangnya dieksploitasi. Mengingat di wilayah Kesultanan Melayu berlaku juga prinsip vorstdomein maka kontrak sewa yang dibuat oleh sultan dengan para pengusaha perkebunan dianggap sah. Para pengusaha perkebunan berhak juga melakukan pengusiran dan penggusuran terhadap penduduk yang menggarap dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk oleh sultan untuk disewakan. Sebagai gantinya pengusaha perkebunan menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan pemukiman kolonisasi kuli kontrak yang didatangkannya dari Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.
Berkembangnya perkebunan besar di Sumatera Timur telah menarik penguasaha-penguasa perkebunan untuk menanamkan modalnya disana. Orang-orang kulit putih datang kesana untuk membuka dan menjadi penguasaha perkebunan, orang Cina, Jawa India datang sebagai buruh dan orang minangkabau dan Mandailing merantau untuk berdagang. Hidup mereka tergantung pada imbalan yang diterima dari hasil kerja yang hanya pas-pasan. Semua gaji yang diterima habis untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Digambarkan bahwa upaha yang diterima oleh buruh sebanyak 35 sen sehari. Apabila seorang buruh hanya bekerja selama 28 hari dalam satu bulan maka dia akan menerima upah sebasar 9, 80 gulden itu pun masih harus di potong dengan membayar uang panjar ( Vorschoot) sehingga sisanya hanya senilai 2,40 gulden saja.
Masalah yang timbul pada masa perkebunan di Sumatera Timur adalah kelangkaan tenaga kerja perkebunan. Jumlah tenaga kerja yang kecil sedangkan lahan yang luas menimbulkan keengganan penduduk setempat untuk bekerja sebagai buruh pertanian. Kekurangan tenaga kerja mendorong untuk menarik para pekerja dari luar daerah. Tenaga kerja di ambil dari Cina, Jawa dan daerah yang lainnya seperti semananjung Melayu (Malaysia dan Singapura ) melalui Broker atau Werver (orang Jawa sering menyebut Werek). Kepentingan para pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja kemudian di lindungi oleh pasal 2 No. 27 dari Politiestrafrglemet voor Inlander. Usaha untuk memperkerjakan buruh-buruh Cina ini sangat berhasil sehingga dalam tahun 1871, yaitu hanya 8 tahun setelah daerah Sumatera Timur dibuka untuk investasi modal Barat, perkebunan-perkebunan di Deli sudah memperkerjakan kurang lebih 3000 buruh Cina.[2]
Sistem perantara yang digunakan dalam pencarian tenaga kerja banyak menimbulkan masalah dan penyelewengan yang dilakukan oleh para Broker/ Werver. Tidak jarang terjadi penculikan dan pembujukan dengan janji-janji yang menyenangkan dengan iming-iming upah yang tinggi. Karena kesulitan dalam menacari tenaga kerja maka pencaraian kerja diserahkan kepada perhimpunan pengasaha perkebunan ( Deli Planters Vereninging). Pada tahun 1888 perhimpunan ini mendirikan biro imigrasi yang mengurus secara langsung selaksi calon pekerja di negeri Cina, pengangkutan tenaga kerja ke Sumatera Timur dan mengurusi masalah keuangan. Namun pada kenyataannnya para werek tidak menyeleksi para pekerja, melainkan siapa yang mau bahkan melalui bujuk rayu kepada calon pekerja. Pada tahun 1888 terdapat kurang lebih 1.152 tenaga kerja Cina, tahun 1889 sebanyak 5.167, dan tahun 14890 sampai 6666 tenaga kerja.
Untuk keperluan Hindia Belanda maka tahun 1888 di bentuk suatu peraturan untuk para buruh perkebunan. Mereka diikat dengan suatu kontrak dengan para pengusaha, namun kontrak tersebut tidak bisa di akhiri dengan buruh. Apabila buruh tersebut melarikan diri maka mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal dengan sebutan Poenale Santic. Suatu hukuman yang kejam yang bisa berupa hukuman cambuk untuk buruh laki-laki hingga di bunuh. Dalam tulisan Jan Breman dikatakan bahwa J. Nienhuys, pernah menghukum cambuk pekerja perkebunan sebanyak 7 buruh sampai meninggal. Hal ini yang membuat Nienhuys pergi keluar Sumatera Timur.
Dengan menandatangani kontrak tersebut secara tidak langsung telah menjerat pekerja perkebunan dengan jaringan hutan-pihutang. Dalam sehari para buruh hanya bisa istirahat 1/20 dari waktu kerjanya. Buruh kontrak dikenakan aturan Ordonantie Koeli maksimum bekerja 12 jam, tapi kenyataannya mereka harus bekerja 13 jam dengan rincian 5 jam menyadap karet, 3 jam menguruh pohon Karet muda, 5 jam mengolah Lateks menjadi Karet mentah.
Poenale Santie sangat melewati batas kewajaran, sehingga timbul protes dari luar perkebunan melalui mass media atau masyarakat Hindia Belanda maupun negeri induk untuk meghapus Peonale santie. Berita itu akhirnya sampai ke Den Haag, sehingga Ratu Belanda memerintahkan kepada gubernur jendaeral untuk melarang tindakan main hakim sendiri. Sejak itu maka pengadilan hanya dilakukan oleh pemerintah. Begitu gencarnya protes tentang kekejaman tuan kebun di Deli-Serdang membuat pemerintah mengganti peraturan peonale santi dengan koeli ordonansi 1880. Namun koeli ordonansi pada kenyataannya sama dengan peonale santie, para buruh tetap mengalami penderitaan dari siksaan tuan kebunnya. Koeli ordonansi baru dihapus seiring dengan datangnya bangsa Jepang tahun 1941.
Pengusiran penduduk pribumi yang sering disebut dengan istilah rakyat penunggu dari daerah pemukimannya dan larangan mereka untuk menggarap tanah tersebut segera menimbulkan persoalan sengketa. Rakyat merasa bahwa tanah itu adalah milik sultan mereka dan menjadi hak mereka untuk menggarapnya sebagai sumber kehidupan. Persoalan semakin bertambah ketika dalam kontrak sewa tersebut diikutkan juga tanah-tanah ulayat yang diakui secara adat sebagai milik komunal penduduk. Dari tanah-tanah ulayat yang disewa perkebunan, rakyat juga tidak diperkenankan untuk menggarapnya.
Sebagai akibat dari kondisi ini kehidupan rakyat pribumi menjadi tidak menentu, mengingat sumber penghasilan mereka yang diperoleh dari penggarapan tanah tidak lagi ada. Meskipun sebagian dari mereka ada yang berangkat ke kota-kota untuk bekerja sebagai tenaga buruh atau profesional lainnya, namun sebagian besar dan terutama yang tidak mempunyai keahlian tidak bisa meninggalkan kampung halamannya. Mereka hanya bisa mengharapkan bisa kembali menggarap tanah-tanah tersebut dengan berbagai cara
Kondisi pengangguran agraria ini tentu saja menciptakan kerawanan situasi dalam kehidupan. Beberapa tindakan kejahatan sosial muncul sebagai jalan alternatif untuk mencari cara menyelesaikan kebutuhan hidupnya. Dalam laporan para pejabat lokal Belanda yang ditempatkan di wilayah Sumatra Timur tercatat adanya kenaikan prosentase kejahatan di daerah perkebunan dalam perempatan pertama abad XX. Meskipun ada juga yang dilakukan oleh para kuli pendatang, namun keterlibatan oleh penduduk pribumi setempat tidak bisa dihindari.
Untuk mencegah kenaikan dan perluasan kriminalitas sosial tersebut, pemerintah Belanda mencoba mencari jalan keluar bersama Sultan dan pengusaha perkebunan. Rakyat penunggu diberi lahan yang bisa digarap oleh mereka dan dipetik hasilnya. Selain itu juga dilakukan pemberian karunia Sultan (grant Sultan) dalam bentuk tanah-tanah kosong yang tidak disewakan. Meskipun di atas kertas semua terlihat baik dan berjalan lancar, namun dalam pelaksanaannya semua tidak berhasil. Hal ini disebabkan oleh adanya eksploitasi yang dilakukan para kepala adat pribumi sebagai orang-orang yang ditunjuk Sultan untuk mengatur pembagian tanah tersebut. Para kepala adat ini sering melakukan pemerasan dalam bentuk tuntutan penyetoran hasil tanah secara berlebihan dari penduduk penggarapnya. Akibatnya hasil yang diterima oleh penduduk tidak bisa mencukupi bagi kebutuhan hidupnya.
Kondisi tersebut memberi alasan bagi pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil alih wewenang pengaturan agraria dari tangan Sultan. Setelah adanya persetujuan yang disepakati, Kontrolir sebagai pejabat tingkat bawah kolonial menggantikan Sultan dalam menangani kasus tersebut. Untuk itu dia mengeluarkan hak garap atas tanah-tanah yang disebut grant Controleur (karunia Kontrolir). Seperti halnya grant Sultan, tipe tanah-tanah ini mengalami kendala dalam pelaksanaan penggarapannya. Hal itu disebabkan oleh peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial bahwa barang siapa yang menerima tanah itu untuk digarap harus melakukan kerja wajib dalam jangka waktu tertentu bagi kepentingan pemerintah Belanda. Selain itu mereka juga harus menyetorkan sebagian hasil produksinya kepada pemerintah Belanda. Akibatnya penduduk tidak lagi mempunyai waktu untuk bekerja secara maksimal dalam menggarap lahan tersebut.
Sumber:
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Stoler, Ann Laura. 2005. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Yogyakarta: Karsa.
Gusti Asnan. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak.
Kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia
Kedatangan orang-orang Eropa pertama di kawasan Asia Tenggara pada awal abad XVI kadang-kadang dipandang sebagai titik penentu yang paling penting dalam sejarah kawasan ini. Pada abad XV bangsa Portugis merupakan salah satu bangsa yang mencapai kemejuan-kemajuan di bidang teknologi tertentu. Bangsa Portugis yang telah dapat membuat kapal-kapal yang lebih layak dan canggih di bandingkan dengan kapal-kapal sebelumnya memungkinkan mereka melakukan sebuah pelayaran dan melebarkan kekuasaaan ke seberang lautan.
Dengan alasan untuk menguasai impor rempah-rempah di kawasan Eropa bangsa Portugis mencari daerah kawasan penghasil rempah-rempah terbaik. Rempah-rempah di kawasan Eropa merupakan kebutuhan dan juga cita rasa. Selama musim dingin di Eropa tidak ada salah satu cara pun yang dapat di jalankan untuk mempertahankan agar semua hewan-hewan ternak dapat tetap hidup. Kerena itu banyak hewan ternak yang disembelih dan dagingnya kemudian harus di awetkan. Untuk itulah diperlukan sekali banyak garam dan rempah-rempah.
Cengkih dari Indonesia Timur adalah yang paling berharga. Indonesia juga menghasilkan lada, buah pala, dan bunga pala. Alasan itulah yang membuat Portugis ingin menemukan dan menguasai daerah Indonesia agar dapat menguasai di kawasan Eropa.
Pada tahun 1847, Bartolomeu Dias mengitari tanjung Harapan dan memasuki perairan Samudra Hindia. Pada tahun 1947, Vasco da Gama sampai di India. Namun, orang-orang Portugis ini segera mengetahui bahwa barang-barang dagangan yang hendak mereka jual tidak dapat bersaing di pasaran India yang canggih dengan barang-barang yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia. Karena itu, mereka sadar harus melakukan peperangan di laut untuk mengukuhkan diri. Alfonso de Albuquerque merupakan panglima angkatan laut terbesar pada masa itu. Pada tahun 1503 Albuquerque berangkat menuju India, dan pada tahun 1510 dia menaklukan goa di pantai barat yang kemudian menjadi pangkalan tetap portugis. Pada waktu itu telah dibangun pangkalan-pangkalan di tempat-tempat yang agak ke barat, yaitu di Ormuzdan Sokotra. Rencananya ialah untuk mendominasi perdagangan laut di Asia dengan cara membangun pangkalan-pangkalan tetap di tempat-tempat krusial yang dapat digunakan untukmengarahkan teknologi militer Portuhis yang tinggi.Pada tahun 1510, setelah mengalami banyak pertempuran, penderitaan, dan kekacauan internal, tampaknya Portugis hampir mencapai tujuannya. Sasaran yang paling penting adalah menyerang ujung timur perdagangan Asia di Maluku.
Setelah mendengar laporan-laporan pertama dari para pedagang Asia mengenai kekayaan Malaka yang sangat besar, Raja Portugal mengutus Diogo Lopez de Sequiera untuk meneukan Malaka, menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya, dan menetap disana sebagai wakil Portugal di sebelah timur India. Tugas Sequiera tersebut tidak mungkin terlaksana seluruhnya ketika dia tiba di Maluku pada tahun 1509. Pada mulanya dia disambut dengan baik oleh Sultan Mahmud Syah (1488-1528), tetapi kemudian komunitas dagang internasional yang ada di kota itu meyakinkan Mahmud bahwa Portugis merupakan ancaman besar baginya. Akhirnya, Sultan Mahmud melawan Sequiera, menawan beberapa orang anak buahnya, dan membunuh beberapa yang lain. Ia juga mencoba menyerang empat kapal Portugis, tetapi keempat kapal tersebut berhasil berlayar ke laut lepas. Seperti yang telah terjadi di tempat-tempat yang lebih ke barat, tampak jelas bahwa penaklukan adalah satu-satunya cara yang tersediabagi Portugis untuk memperkokoh diri.
Pada bulan April 1511, Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa Purtugis menuju Malaka dengan kekuatan kira-kira 1200 orang dan 17 (18) buah kapal. Peperangan pecah segera setelah kedatangannya dan berlangsung terus secara sporadis sepanjang bulan Juli dan awal Agustus. Pihak Malaka terhambat oleh pertikaian antara Sultan Mahmud dan putranya, Sultan Ahmad yang baru saja diserahi kekuasaan atas negara dan nantinya dibunuh atas perintah ayahnya. Namun Malaka akhirnya berhasil ditaklukan. Albuquerque menetap di Malaka sampai bulan November 1511, dan selama itu dia mempersiapkan pertahanan Malaka untuk menahan setiap serangan balasan orang-orang Melayu. Dia juga memerintahkan kapal-kapal yang pertama untuk mencari “Kepulauan Rempah”. Sesudah itu dia berangkat ke India dengan kapal besar, dia berhasil meloloskan diri ketika kapal itu karam di lepas pantai Sumatera beserta semua barang rampasan yang dijarah di Malaka.
Setelah satu kapal layar lagi tenggelam, sisa armada itu tiba di Ternate pada tahun itu juga. Dengan susah payah karena kaplnya karam ekspedisi pertama itu tiba di Ternate dan berhasil mengadakan hubungan dengan Sultan Aby Lais (meninggal 1522). Sultan Ternate itu berjanji akan menyediakan cengkeh bagi Portugis setiap tahun dengan syarat dibangunnya sebuah benteng di pulau Ternate.
Hubungan dagang yang tetap baru dapat dirintis oleh Antonio de Abrito. Hubungannya dengan Sultan Ternate yang masih anak-anak, Kacili Abu Hayat, dan pengasuhnya Kacili Darwis, berlangsung sangat baik. Pihak Ternate tanpa ragu mengizinkan DeBrito membangun benteng pertama Portugis di Pilau Ternate (Sao Joao Bautista atau Nossa Seighora de Rossario) pada tahun 1522. Penduduk Ternate menggunakan istilah Kastela untuk benteng iitu, bahkan kemudian benteng itu lebih dikenal dengan nama benteng Gamalama. Sejak tahun 1522 hingga tahun 1570 terjalin suatu hubungan dagang (cengkih) antara Portugis dan Ternate.
Portugis yang sedang menguasai Malaka, tetapi segera terbukti bahwa mereka tidak menguasai perdagangan Asia yang berpusat disana. Portugis tidak pernah dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan sangat tergantung kepada para pemasok bahan makanan dari Asia seperti halnya para penguasa Melayu sebelu mereka di Malaka. Mereka kekurangan dana dan sumber daya manusia. Organisasi mereka ditandai dengan perintah-perintah yang saling tumpang tindih dan membingungkan, ketidakefisienan, dan korupsi. Bahkan gubernur-gubernur mereka di Malaka turut berdagang demi keuntungan pribadi di pelabuhan Malaya, Johor, pajak dan harga barang-barangnya lebih rendah, dan hal tersebut telah merusak monopoli yang seharusnya mereka jaga. Para pedagang Asia mengalihkan sebagian besar perdagangan mereka ke pelabuhan-pelabuhan lain dan menghindari monopoli Portugis yang mudah.
Di sebelah barat Nusantara, dengan cepat portugis tidak lagi menjadi suatu kekuatan yang revolusioner. Keunggulan teknologi mereka yang terdiri atas teknik-teknik pelayaran dan militer berhasil dipelajari dengan cepat oleh saingan-saingan mereka dari Indonesia, meriam Portugis dengan cepet direbut oleh orang-orang Indonesia. Malaka Portugis menjadi suatu bagian dari jaringankonflik di selat Malaka, dimana Johor dan Aceh berlomba-lomba untuk saling mengalahkan Portugis agar bisa menguasai Malaka.
Kota Malaka mulai sekarat sebagai pelabuhan dagang selama berada dibawah cengkeramana Portugis, mereka tidak pernah berhasil memonopoli perdagangan Asia. Portugis hanya mempunyai sedikit pengaruh terhadap kebudayaan orang-orang Indonesia yang tinggal di nusantara bagian barat, dan segera menjadi bagian yang aneh di dalam lingkungan Indonesia. Portugis telah mengacaukan secara mendasar organisasi sistem perdagangan Asia. Tidak ada lagi satu pelabuhan pusat dimana kekayaan Asia dapat saling dipertukarkan, tidak ada lagi negara Malaya yang menjaga ketertiban selat Malaka dan membuatnya aman bagi lalu lintas perdagangan. Sebaliknya komunitas dagang telah menyebar ke beberapa pelabuhan dan pertempuran sengit meletus di Selat.
Segera setelah Malaka ditaklukan, dikirimlah misi penyelidikan yang pertama ke arah timur dibawah pimpinan Francisco Serrao. Pada tahun 1512, kapalnya mengalami kerusakan, tetapi dia berhasil mencapai Hitu (Ambon sebelah utara). Disana dia mempertunjukkan keterampilan perang melawan suatu pasukan penyerang yang membuat dirinya disukai oleh penguasa setempat. Hal ini mendorong kedua penguasa setempat yang bersaing (Ternate dan Tidore) untuk menjajagi kemungkinan memperoleh bantuan Portugis. Jadi Portugis disambut baik di daerah itu juga karena mereka juga dapat membawa bahan pangan dan membeli rempah-rempah. Akan tetapi perdagangan Asia segera bangkit kembali, sehingga Portugis tidak pernah dapat melakukan suatu monopoli yang efektif dalam perdagangan rempah-rempah.
Sultan TernateAbu Lais (1522) membujuk bangsa Portugisuntuk mendukungnya dan pada tahun1522, mereka mulai membangun sebuah benteng disana. Sultan Mansur dari Tidore mengambil keuntungan dari kedatangan sisa-sisa ekspedisi pelayaran keliling dunia Magellan di tahun 1521 untuk membentuk suatu persekutuan dengan bangsa Spanyol yang bagaimanapun tidak memberikan banyak hasil dalam periode ini.
Hubungan Ternate dan Portugis berubah mnejadi tegang karena upaya yang agak lemah Portugis melakukan kristenisasi dan karena perilaku orang-orang Portugis yang tidak sopan. Pada tahun 1535, orang-orang Portugis di Ternate menurunkan Raja Tabariji (1523-1535) dari singgasananya dan mengirimnya ke Goa yang dikuasai Portugis. Disana dia masuk Kristen dan memakai nama Dom Manuel, dan setelah dinyatakan tidak terbukti melakukan hal-hal yang dituduhkan kepadanya, dia dikirim kembali ke Ternate untuk menduduki singgasananya lagi. Akan tetapi dalam perjalanannya dia wafat di Malaka pada tahun 1545. Namun sebelum wafat, dia menyerahkan Pulau Ambon kepada orang Portugis yang menjadi ayah baptisnya, Jordao de Freitas. Akhirnya orang-orang Portugis yang membunuh Sultan Ternate Hairun (1535-1570) pada tahun 1570, diusir dari Ternate pada tahun 1575 setelah terjadi pengepungan selama 5 tahun, mereka kemudian pindah ke Tidore dan membangun benteng baru pada tahun 1578. Akan tetapi Ambonlah yang kemudian menjadi pusat utama kegiatan-kegiatan Portugis di Maluku sesudah itu. Ternate sementara itu menjadi sebuah negara yang gigih menganut islam dan anti Portugis dibawah pemerintahan Sultan Baab Ullah (1570-1583) dan putranya Sultan Said ad-Din Berkat Syah (1584-1606).
Portugis juga terlibat perang dan terkepung di Solor. Pada tahun 1562, para pendeta Dominik membangun benteng dari batang kelapa disana, yang pada tahun berikutnnya dibakar para penyerang beragama islam dari Jawa. Namun orang-orang Dominik tetap bertahan dan segera membangun ulang benteng dari bahan yang lebih kuat dan mulai melakukan kristenisasi pada penduduk lokal.Pada tahun sesudahnya, muncul serangan-serangan dari Jawa. Masyarakat Solor sendiripun tidak secara keseluruhan menyenangi orang-orang Portugis atau agama mereka sehingga seringkali muncul perlawanan. Pada tahun 1598-1599, pemberontakan besar-besaran dari orang Solor memaksa pihak Portugis mengirimkan sebuah aramada yang terdiri dari 90 kapal untuk menundukkan para pemberontak itu. Namun Portugis tetap menduduki benteng-benteng mereka di Solor sampai diusir oleh Belanda pada tahun 1613 dan setelah itu Portugis melakukan pendudukan kembali pada tahun 1636.
Diantara para petualang Portugis tersebut ada seorang Eropa yang tugasnya memprakarsai suatu perubahan yang tetap di Indonesia Timur. Orang ini bernama Francis Xavier (1506-1552) dan Santo Ignaius Loyola mendirikan orde Jesuit. Pada tahun 1546-1547, Xavier bekerja di tengah-tengah orang Ambon Ternate dan Moro untuk meletakkan dasar-dasar bagi suatu misi yang tetap disana. Pada tahun 1560an terdapat sekitar 10.000 orang katolik di wilayah itu dan pada tahun 15901n terdapat 50.000an orang. Orang-orang Dominik juga cukup sukses mengkristenkan Solor. Pada tahun 1590an orang-orang Portugis dan penduduk lokal yang beragama Kristen di sana diperkirakan mencapai 25.000 orang.
Di Maluku Portugis meninggalkan beberapa pengaruh kebudayaan mereka yaitu balada-balada keroncong romantis yang dinyanyikan dengan iringan gitar berasal dari kebudayaan Portugis. Kosa kata Indonesia juga ada yang berasla dari bahasa Portugis yaitu pesta, sabun, bendera, meja, Minggu, dll. Hal ini mencerminkan peranan bahasa Portugis disamping bahasa Melayu sebagai lingua franca di seluruh pelosok nusantara sampai awal abad XIX. Bahkan di Ambon masih banyak ditemukan nama-nama keluarga yang berasla dari Portugis seperti da Costa, Dias, de Fretas, Gonsalves, Mendoza, Rodriguez, da Silva, dll. Jadi pengaruh besar kedatangan Portugis ke Indonesia yaitu terganggu dan kacaunya jaringan perdagangan sebagai akibat ditaklukannya Malaka oleh mereka serta penanaman agama Katolik di beberapa daerah timur di Indonesia.