Tampilkan postingan dengan label Makalah. Tampilkan semua postingan
Asas-asas dalam Hukum Acara Perdata
Berikut ini adalah asas-asas Hukum Acara Perdata, yaitu:
1. Hakim bersifat menunggu
Asas dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi, tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya : iudex ne procedat ex officio (lihat pasal 118 HIR, 142 Rbg). Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi, sekali perkara diajukan kepadnya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (pasal 16 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004). Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan bahwa hakim tahu akn hukumnya (ius curia novit).
2. Hakim pasif
Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (pasal 5 ayat (2) UU no. 4 tahun 2004).
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap tut wuri.Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum allegata iudicare). Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedang hakim tidak dapat mengahalang-halanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (pasal 130 HIR, 154 Rbg).
Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang dituntut (pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, 189 atar 2 dan 3 Rbg). Apakah yang bersangkutan akan mengajukan banding atau tidak itupun bukan kepentingan dari pada hakim (pasal 6 UU 20/1947, 199 Rbg). Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Azas ini disebut Verhandlungsmaxime.
3. Persidangan bersifat terbuka
Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan pengadilan. Asas ini kita jumpai dalam pasal 19 ayat (1) dan 20 UU no. 4 tahun 2004.
Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup (pasal 19 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004).
Persidangan bersifat terbuka ini tujuannya adalah:
a. Agar para pihak atau masyarakat dapat mengetahui apakah putusan tersebut adil atau tidak
b. Pengadilan harus bisa mempertanggungjawabkan putusannya pada pengadilan di atasnya
4. Mendengar kedua belah pihak
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam pasal 5 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004, mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et alteram partem” atau “Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man soll sie horen alle beide.”hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (pasal 132a, 121 ayat 2 HIR, 145 ayat 2, 157 Rbg, 47 Rv)
5. Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 25 UU no. 4 tahun 2004, 184 ayat (1), 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim atas putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.
6. Beracara dikenakan biaya
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (pasal 3 ayat (2) UU no. 4 tahun 2004, 121 ayat (4), 182, 183 HIR, 145 ayat (4), 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materi. Di samping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (pasal 237 HIR, 273 Rbg). Namun dalam prakteknya surat keterangan ini cukup dibuat oleh camat yang membawahi daerah tempat yang berkepentingan tinggal. Pemohon perkara secara pro deo akan ditolak oleh pengadilan apabila penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu.
7. Tidak ada keharusan mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (pasal 123 HIR, 147 Rbg). Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.
Sejarah Perkembangan Peradilan Di Indonesia
Sebagaimana kita ketahui, pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk di Indonesia dibagi ke dalam beberapa golongan. Yang mendasarinya adalah Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum negeri Belanda yang juga dapat disbeut hukum Barat, sedangkan bagi golongan Bumi Putera dan mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya masing-masing. Terhadap golongan Bumiputera ini dapat juga berlaku hukum Barat jika ada kepentingan umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian.
Karena adanya perbedaan perlakuan hukum tersebut, konsekuensinya adalah adanya perbedaan pula dalam badan-badan peradilan berikut hukum acaranya. Peradilan untuk Golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan Residentie-gerecht sebagai peradilan sehari-hari.
Untuk golongan Bumiputera dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah yang termuat dalam Herziene Inlandscb Reglement disingkat HIR, sedangkan untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu denganRecbtsgelement Buitengewesen atau Rbg.
Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diatur sebagai berikut:
a. Untuk Pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Organisasi Peradilan dan Kebijaksanaan Kehakiman di Hindia Belanda (Regelement op de Rechterlijke Organisatie en bet Beleid der Justitie disingkat R.O).
b. Untuk luar pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan Peradilan dengan seberang laut (Rechtsreglemen, Buitengewesten/Rbg).
Sedangkan dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg yang berbunyi:
Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan di luar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RBg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tesebut, pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Bergerlijke Recbtsvordering disingkat Rv, S. 1847-52 jo 1849-63)
Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga kelompok penduduk tersebut di atas, bagi golongan Bumiputera, hukum material yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah Pulau Jawa dan Madura dan RBg untuk daerah di luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang).
Bagi Golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum Perdata material yang berlaku adalah Burgerlijk Wetboek-BW (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Kophandel-Wvk (Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata (Rv). Ada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang baik sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda , yaitu:
1. Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia
2. Badan arbitrase tentang kebakaran;
3. Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.
2. Zaman Penjajahan Jepang
Pada waktu Jepang masuk menggantikan kedudukan penjajahan Belanda, PeradilanRaad van Justitie dan Residen tiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tiboo Hooin. Badna peradilan ini merupakan peradilan kelanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg.
Dengan demikian pada waktu penjajahan Jepang penyelesaian kasus arbitrase juga mengacu pada Buku III Rv. Yang berjudul Recbtspleging van onderscheiden aard(peradilan bentuk lainnya), Titel I di bawah judul van de uitspraken van scheidsmannen(keputusan-keputusan yang dijatuhkan juru pemisah) dan diatur dalam Pasal 615 sampai dengan 651.
Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa: semua badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum dan Undang-undang dari Pemerintah dahulu- Pemerintahan Hindia Belanda- tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang.
3. Zaman Indonesia Merdeka
Untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, pada waktu Indonesia merdeka, diberlakukanlah Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan:
"Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang- undang Dasar ini".
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 yang dalam pasal 1 menyatakan "segala badan‑badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17Agustits 1945 selainya belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut".
Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, RBg dan RVJ Mengenai badan peradilannya di beberapa bagian Republik Indonesia yang dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraadsebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, landrechter ini menjadi Pengadilan Ncgeri, sedangkanAppelraad menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.
Ketika berlakunya Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di seluruh Indonesia hanya ada tiga macam badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat kedua atau banding, dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kasasi. Namun diluar itu ternyata masih dikenal peradilan adat dan swapraja.
Pada zaman Repuhlik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang berlaku saat itu (konstitusi RIS), dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa:
1. Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut pasal 197 Konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RIS sendiri, selama ada sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentitan itu tidak di cabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaba atas kuasa konstitusi ini.
2. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaba yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat I hanya berlaku, sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI, Persetujuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan undang-undang atau tindakan menjalankan. "
Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950, pasal 142-nya menyatakan bahwa:
"Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaba yang sudah ada pada tangal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendir, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak diabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang Dasar ini.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv juga tetap berlaku. Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pengertian Hukum Acara Perdata

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materill dengan perataraan hakim.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa hukumacara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Hal ini didasarkan pada jika kita melaksanakan hukum materill menurut kehendak pihak yang bersangkutan, maka dalam hal ini akan timbullah apa yang dikenal dengan istilah, “ Main hakim sendiri”. Inilah yang justru sangat di khawatirkan oleh kita semua, sebab dengan keadaan demikian itu tentu saja ketertiban dalam masyarakat tidak terjamin lagi, sedangkan ketertiban ini merupakan salah satu tujuan dalam hukum. Jika ada suatu badan atau lembaga, maka badan atau lembaga apakah atau yang manaka yang berwenang untu melaksanakan hukum materilini.
Oleh karena itulah maka dalam hal ini di perlukan sekali suatu bentuk perundang-undangan ang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah melaksanakan hukum materill ini, sebab tanpa adanya aturan tersebut, maka hukum materill ini hanya merupakan rangkaian kata-kata yang indah dan enak di baca saja, tapi tidak dapat dinikmati oleh warga masyarakat.Hukum yang mengatur tentang cara mempertahankan dan menerapkan hukum materill ini, dalam istilah hukum sehari-hari dikenal dengan sebutan hukum formill atau hukum acara.
PERKEMBANGAN PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA TERKINI
INSTITUSI :
Bahasa Indonesia sudah tidak asing lagi bagi kita, karena sudah menjadi keseharian kita berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Namun di zaman yang semakin modern ini Bahasa Indonesia pelan-pelan mulai terpinggirkan oleh pengaruh teknologi yang berkembang semakin pesat dan tidak ada batasnya. Kemudian banyaknya institusi-institusi yang mulai menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar. Bila kita lihat lebih jauh, masyarakat Indonesia mulai lupa akan jati dirinya sebagai Bangsa Indonesia dan di era globalisasi ini bisa saja masyarakat Indonesia tidak sadar bahwa Bahasa Indonesia bisa terkikis sedikit demi sedikit bahkan hilang ditelan zaman.
Sebagai bangsa yang satu, seharusnya kita bangga dengan bahasa yang kita miliki dan bisa melestarikan kelangsungan Bahasa Indonesia. Perlu kita perhatikan di dalam bidang pendidikan penggunaan bahasa sebagai bahasa pengantar itu sangat penting dan akan mempengaruhi suatu pendidikan tersebut. Di negara kita sendiri, penggunaan bahasa asing contohnya bahasa inggris sudah mulai diperkenalkan kepada siswa/I sekolah dasar dengan alasan guna menunjang kemampuan siswa/I tersebut belajar dalam berbahasa sejak dini. Apalagi dengan pendidikan yang sudah bertaraf internasional, bahasa asing sebagai pengantar sehari-hari itu sudah wajib digunakan. Bila kita tinjau, ini bisa menjadi proses pembinasaan Bahasa Indonesia secara terselubung. Sudah selayaknya institusi pendidikan di Indonesia mengedepankan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dengan pengucapan baik dan benar. Setidaknya pengaplikasian pengucapan yang baik dalam percakapan sehari-hari.MASYARAKAT :
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang lahir dengan keberagaman suku, adat, ras, golongan dan agama. Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa. Dengan keberagaman tersebut, Indonesia memerlukan satu bahasa yang bisa dimengerti semua Warga Negara dan menjadi pemersatu bangsa. Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Hal ini merupakan bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status bahasa yang tidak dapat ditinggalkan. Bahasa mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, karena dengan menggunakan bahasa seseorang juga dapat mengekspresikan dirinya, fungsi bahasa sangat beragam. Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi, selain itu bahasa juga digunakan sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkunga atau situasi tertentu dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang dihasilkan menjadi alat ucap yang digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa. Baik menggunakan bahasa secara lisan maupun secara tulisan dan bahasa tubuh. Salah satu peranan bahasa yaitu sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu. Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakaiannya akan menyikapinya secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.
PEMERINTAH :
Sampai saat ini tampaknya belum ada suatu kesamaan presepsi dan kebijakan yang tegas ( di tingkat nasional, institusi dan individual dosen ) mengenai masalah kenahasan untuk kepentingan perkembangan ilmu dan teknologi. Atas dasar beberapa dilema atau kendala kebahasaan indonesia, ada suatu pertanyaan yang sangat mendasar yang dapat dijadikan haluan suatu kkebijakan strategik nasional yang penting. Manakah kebijakan nasional yang paling efektif untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tteknologi di masa mendatang :
(1). Mengajarkan bahasa asing ( inggris ) kepada pelajar/mahasiswa sehingga mereka dapat membaca buku-buku asing tetapi tetap menggunakan bahasa indonesia sebagai pengantar,
(2). Menerjemahkan buku asing kedalam bahasa indonesia sehinggga ilmu pengetahuan asing dapat dipelajari oleh pelajar/mahasiswa indonesia yang tidak atau belum paham dan fasih bahasa asing pada tingkat yang memadai, atau
(3). Menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa resmi di perguruan tinggi ( buku teks dan bahasa pengantar kuliyah )
Dapatkah dicapai suatu keadaan yang memungkinkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat segera dikuasai dan karya seni tinggi dapa segera dinikmati para pelajar dan mahasiswa tanpa mereka harus belajar bahasa asing dulu ? tidak mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, masing-masing pilihan akan membawa implikasi yang sangat luas baik dalam kehidupan masyarakat umum maupun akademik. Yang jelas kebijakan manapun yang dipilih akan mempunyai implikasi dalam membangun insan indonesia yang cerdas dan kompetitif.“ Pentingnya Bahasa Indonesia dalamKehidupan Bernegara “
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang lahir dengan keberagaman suku, adat, ras, golongan dan agama. Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa. Dengan keberagaman tersebut, Indonesia memerlukan satu bahasa yang bisa dimengerti semua Warga Negara dan menjadi pemersatu bangsa. Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia, baik secara lisan maupun tertulis.
Hal ini merupakan bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status bahasa yang tidak dapat ditinggalkan. Bahasa mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, karena dengan menggunakan bahasa seseorang juga dapat mengekspresikan dirinya, fungsi bahasa sangat beragam. Bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi, selain itu bahasa juga digunakan sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkunga atau situasi tertentu dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang dihasilkan menjadi alat ucap yang digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa. Baik menggunakan bahasa secara lisan maupun secara tulisan dan bahasa tubuh. Salah satu peranan bahasa yaitu sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu. Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakaiannya akan menyikapinya secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.
Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan situasi apa bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian perkembangan bahasa-bahasa itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakatinya antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang masuk ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima, sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikanya akan ditolak. Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan harusnya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan. Di Negara kita disebut Politik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah bahasa.
Jenis-Jenis Catatan Kaki
- Ibid
Ibid singkatan dari Ibidium yang berarti “sama dengan di atas”.
Beberapa catatan mengenai penggunaan ibid:
- Digunakan untuk menulis catatan kaki yang sumbernya sama dengan catatan kaki yang tepat di atasnya.
- Tidak dipakai apabila telah ada catatan kaki lain yang menyelingnya.
- Diketik atau ditulis dengan huruf capital pada awal kata, dicetak miring, dan diakhiri titik.
- Apabila referensi berikutnya berassal dari jiid atau halaman lain, urutan penulisan: Ibid, koma, jilid, halaman.
Contoh:
1 Janet Holmes, An Introduction to Sociolinguistics, (London: Longman, 1995), h. 56.
2 Ibid., h. 102
- Op.cit
Op.cit singkatan dari opera cintati, yang artinya “dalam karya yang telah dikutip”.
Beberapa catatan yang terkait dengan penulisan op.cit adalah:
- Merujuk buku sumber yang telah disebutkan dan diselingi sumber lain.
- Ditulis dengan huruf kapital pada awal suku kata, dicetak miring, setiap suku diikuti titik.
- Urutan penulissan: nama pengarang, nama panggilan atau nama family, Op.cit. nama buku, halaman.
Contoh:
1 Janet Holmes, An Inttroduction to Sociolinguistics, (London: Longman, 1995), h. 56.
2 Abdul Chaer, Pengantar Sosiolinguistik, (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 34.
3 Janet Holmes, op.cit., h. 102.
- Loc.cit
Loc.cit singkatan dari loco cintati, artinya tempat yang telah dikutip.
Beberapa catatan mengenai loc.cit:
- Digunakan umtuk merunjuk sumber data pustaka yang serupa yang berupa kumpulan esai, jurnal, ensiklopedi, atau majalah; dan telah diselingi sumber lain.
- Kutipan bersumber pada halaman yang sama kata loc.cit tidak diikuti nomor halaman.
- Jika halaman berbeda, kata loc.cit diikuti nomor halaman.
- Menyebutkan nama keluarga pengarang.
Contoh:
1 Janet Holmes, An Introduction to Sociolinguistics, (London: Longman, 1995), .h. 56.
2 Abdul Chaer, Pengantar Sosiolinguistik, (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 34.
Janet Holmes, loc.cit.CATATAN KAKI
Catatan kaki adalah bagian dari notasi ilmiah yang berisi keterangan teks karangan yang berisikan tentang penulis, karya (judul, kota terbit: tempat terbit, dan tahun terbit), dan halaman yang menjadi sumber rujukan. Penulisan catatan kaki ditempatkan pada kaki halaman karangan yang bersangkutan.
Tujuan Catatan Kaki
Lepas dari persoalan hubungan anntara kutipan dan catatan yang dinyatakan secara formal dengan tanda-tanda ini, kita akan bertanya, apa sebenarnya tujuan sebuah catatan kaki? Tujuan catatan kaki di sini tentu tidak akan terlepas dari kaitannya dengan isi teks yang akan diberi penjelasan itu.
Fungsi Catatan Kaki:
catatan kaki yang berupa referensi
fungsi akademis
(a) memberikan dukungan argumentasi atau pembuktian,
(b) membuktikan kutipan (rujukan) naskah,
(c) memperluas makna informasi bahasan dalam naskah,
(d) penunjukan adanya bagian lain dalam naskah yang dapat ditelusuri kebenaran faktanya
(e) menunjukkan objektivitas kualitas karangan,
(f) memudahkan penilaian sumber data,
(g) memudahkan pembedaan data pustaka dan keterangan tambahan,
(h) mencegah pengulangan penulisan data pustaka,
(i) memudahkan peninjauan kembali penggunaan referensi,
(j) memudahkan penyuntingan daftar pustaka,
(k) menunjukkan kualitas kecerdasan akademis penulisnya.
Fungsi etika (moral)
(a) Pengakuan dan penghargaan kepada penulis sumber informasi,
(b) Menunjukkan kualitas ilmiah yang lebih tinggi,
(c) Menunjukkan kecermatan yang lebih akurat,
(d) Menunjukkan etika dan kejujuran intelektual, bukan plagiat,
(e) Menunjukkan kesantunan akademis pribadi penulisnya.
Funsi estetika
(a) Mempertinggi nilai keindahan halaman,
(b) Membentuk variasi format penulisan,
(c) Memberikan kesan dinamis sehingga lebih menarik,
(d) Menyenangkan pembaca dengan mempermudah mencari rujukan lebih lanjut.
Catatan kaki yang berupa keterangan tambahan
1) Memberikan keterangan tambahan,
2) Memperjelas konsep, istilah, definisi, atau uraian tambahan tanpa mengganggu proses pemahaman uraian,
3) Tidak mengganggu focus analisis atau pembahasan,
4) Meningkatkan kualitas karangan, Mempertinggi nilai estetika.