- Back to Home »
- Berita Nasional »
- Semboyan Bhineka Tunggal Ika Jadi Kenangan
Posted by : Marketing IndiHome
Minggu, 21 Oktober 2012
Meningkatnya sikap intoleran itu terbaca dalam survei yang digelar LSI Community pada 1-8 Oktober 2012 lalu. Dari data survei tersebut, sebanyak 15–80 persen publik Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampingan atau bertetangga dengan orang yang berbeda identitas. Mereka yang mengaku tidak nyaman hidup berdampingan dengan tetangga yang berbeda agama sebesar 15,1 persen.
(baca juga halaman 2) Dari data yang didapat dalam survey, mereka yang berpendidikan rendah dan tingkat penghasilan rendah lebih intoleran jika dibandingkan dengan responden berpendidikan tinggi dan berpenghasilan tinggi. Hal itu terlihat dari data bahwa mereka yang berpendidikan di bawah SMA sebanyak 67,8 persen merasa tidak nyaman bertetangga dengan orang yang berbeda agama.
Sedangkan mereka yang bependidikan tinggi atau SMA ke atas, sebesar 32,2 persen merasa tidak nyaman bertetangga dengan orang beda agama. Sebanyak 57,8 persen dari mereka yang berpenghasilan rendah atau di bawah Rp 2 juta merasa tidak nyaman bertetangga dengan orang Syiah, 61.2 persen tak nyaman bertetangga dengan orang Ahmadiyah, dan 59.1 lainnya tak nyaman bertetangga dengan orang homoseks.
Sedangkan mereka yang berpenghasilan tinggi atau di atas Rp 2 juta sebesar 42.2 persen menyatakan merasa tidak nyaman bertetangga dengan orang Syiah, 38.8 persen tak nyaman dengan orang Ahmadiyah, dan 40.9 persen dengan homoseks. Di tempat terpisah, Ketua Serikat Jurnali untuk Keberagaman Alex Junaidi menyebut, persoalan sikap intoleran dan diskriminatif sulit dibendung selama negara tidak menunjukkan sikap tegasnya. ’’Negara absen dalam kasus kekerasan pada minoritas,’’ katanya.
Hal itu terjadi akibat dominasi para politikus yang enggan memberikan pembelaan kepada minoritas. Membela minoritas mereka anggap tidak akan berbanding lurus dengan perolehan suara. Malah sebaliknya, membela minoritas justru berpotensi menghilangkan pemilih mereka. ’’Negara mestinya memberikan pendidikan soal konstitusi agar intoleran dan diskriminasi bisa hilang.
Selain itu, penegakan hukum juga wajib negara lakukan saat muncu kasus kekerasan yang bersukber dari sikap diskriminatif dan intoleran,’’ beber jurnalis berkacamata ini serius. Alex menambahkan, konstitusi di Indonesia sebenarnya sudah cukup menjamin keberadaan kelompok minoritas.
Hanya, pada tataran pelaksanaannya masih jauh panggang dari apinya. ”Harus diingat, negara punya kewajiban tidak saja kepada yang minor, tapi juga mayor. Nah, di sini fungsi penegakan hukum dan edukasi tentang aturan-aturan anti diskriminasi perlu negara tegakkan,” katanya.
Selama negara tidak memerankan fungsi tersebut, sudah pasti sikap intoleran dan diskriminatif akan terus terpupuk. Menurutnya, di sisi lain, kelompok minoritas kini sudah mulai membekali diri dengan ketrampilan advokasi jika mengalami tindak diskriminatif.
Fungsi negara yang tidak semestinya itu juga terekam dalam survey tersebut menunjukkan, 62,7 persen responden menilai presiden, politisi, dan polisi kurang maksimal dalam menjaga kebebasan warga menjalankan keyakinannya. ’’Ketidaktoleransian publik terhadap isu perbedaan masih sangat tinggi yakni 31.2 persen.
Prosentase sebesar ini rawan atas kasus kekerasan primordial. Hanya membutuhkan sedikit picu saja, kekerasan masal mudah meledak,” terang Novri. Dari catatan Wahid Institute, jumlah kasus kekerasan atas nama agama menunjukkan peningkatan tajam.
Pada 2011 lalu, tercatat ada 92 kasus kekerasan atas nama agama. Angka itu naik dari tahun sebelumnya dengan 62 kasus. Angka-angka itu berbanding lurus dengan sikap pemerintah selama lima tahun terakhir pada banyak kasus diskriminasi (lihat grafis). (tir)
[ sumber ]