- Back to Home »
- Analisis Kebijakan Pendidikan »
- PEMIKIRAN PAULO FRIERA TENTANG DUNIA PENDIDIKAN
Posted by : Marketing IndiHome
Senin, 08 Oktober 2012
Paulo Freire dilahirkan di Recife, Brasil pada 19 September 1921. Ia berasal dari keluarga kelas menengah yang oleh karena keadaan ekonomi nasional yang buruk saat itu, membuatnya juga merasakan apa artinya kekurangan dan kelaparan. Ia mempunyai latar belakang pendidikan di bidang hukum dan sempat berkarier dalam jangka waktu yang pendek sebagai seorangpengacara. Kemudian ia menjadi guru bahasa Portugis selama 6 tahun
(1941-1947). Sekitar tahun 1944 ia menikah dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Olievera. Pernikahan inilah yang memantapkan pergeseran interesnya dari bidang hukum ke bidang pendidikan.
Tahun 1959, Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan judul Educacao e Atualidade Brasileira (Pendidikan dan Keadaan Masa Kini di Brasil). Di kemudian hari, ia bahkan diangkat sebagai guru besar bidang sejarah dan filsafat pendidikan di universitas tersebut. Pada tahun 1961-1964, ia menjadi Direktur Pertama dari Departemen Perluasan Kebudayaan Universitas Recife. Karena keberhasilannya dalam program pemberantasan buta huruf di daerah Angicos, Rio Grande do Norte, ia diangkat sebagai Presiden dari Komisi Nasional untuk Kebudayaan Populer.
Pada tahun 1964 terjadi kudeta militer di Brasil. Rezim yang berkuasa saat itu menganggap Freire seorang tokoh yang berbahaya, karena itu mereka menahannya selama tujuh puluh hari sebelum akhirnya “mempersilakan” Freire untuk meninggalkan negeri itu. Ia memulai masa lima belas tahun pembuangannya dan tinggal untuk sementara waktu di
Bolivia. Dari Bolivia ia pindah ke Chili dan berkerja selama lima tahun untuk organisasi internasional Christian Democratic Agrarian Reform Movement. Dalam masa lima tahun ini, ia dianggap sangat berjasa menghantar Chili menjadi satu dari lima negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses dalam memberantas buta huruf. Pada tahun 1969 ia sempat menjadi visiting professor di Universitas Harvard. Antara tahun 1969-1979, ia pindah ke Jenewa dan menjadi penasihat khusus bidang pendidikan bagi Dewan Gereja Dunia. Pada akhir tahun 1960-an nilah ia menulis salah satu bukunya yang paling terkenal, Pedagogy of
the Oppressed.4 Pada tahun 1979, Freire kembali ke Brasil dan menempati posisi penting di Universitas Sao Paulo. Tahun 1988 ia ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo, sebuah posisi yang memberinyatanggung jawab untuk mereformasi dua pertiga dari seluruh sekolah negeri yang ada.
Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya, ia menerima beberapa gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia. Ia juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya: UNESCO’s Peace Prize tahun 1987, dan dari The Association of Christian Educators of the United States
sebagai The Outstanding Christian Educator, pada tahun 1985.
FILSAFAT PENDIDIKAN FREIRE
Secara filosofis, pemikiran Freire banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran Fenomenologi, Personalisme, Eksistensialisme, dan Marxisme. Sebagai tokoh pendidikan, ia dikenal sebagai salah satu tokoh utama Rekonstruksionisme. Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas dirimanusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak menusiawi selelu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusia, yang terjadi senyatanya, yang dikhotomi dalam pengertian psikologis. Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektif yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berpikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak terutama berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah.
Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:
1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia
1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia
Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandalkan sebagai sebuah “bank” (banking concept of educational) di mana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar daripadanya kelak diharapkan suatu hasil lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak . Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunai yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.
Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandalkan sebagai sebuah “bank” (banking concept of educational) di mana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar daripadanya kelak diharapkan suatu hasil lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak . Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunai yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.
Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonis pendidikan “gaya bank” sebagai brtikut
1. Guru mengajar, murid belajar.
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid mendengarkan
6. Guru mengatur dan memilih memaksakan pilihannya, murid menuruti.
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru.
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesioanlismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya.
1. Guru mengajar, murid belajar.
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid mendengarkan
6. Guru mengatur dan memilih memaksakan pilihannya, murid menuruti.
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru.
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesioanlismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrh saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam ini menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili” Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadi diri mereka sendiri sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah lahir lagi manusia-manusia penindas yang baru. Jika kemudian mereka menjadi guru atau pendidik juga, maka daur penindasanpun segera dimulai lagi dalam dunia pendidikan, dan seterusnya. Sistem pendidikan, karena itu, menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaharuan. Bagi Freire, sistem pendidikan sebaliknya justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia . Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak-didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut (disinheried masses) dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti yang berarti menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
Pola pendidikan semacam itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, tetapi tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta, sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.
Maka akhirnya Freire pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan membaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan, bukan penguasaan (dominasi). Pendidikan memang harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran dakan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas itu. Inilah makna dan hakekat praxis itu, yakni:
Dengan kata lain, “praxis”, adalah “manunggal karsa, kata, dan karya”, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara, dan berbuat. Makna “praxis” tidak memisahkan ke tiga fungsi atau aspek tersebut sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi padu dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai manusia seutuhnya. Jika hal itu dibuat terpisah, maka akan ada dua kutub ekstrem yang terjadi, yakni pendewaan berlebihan pada kata-kata (sacrifice of verbalism), atau pendewaan berlebihan pada kerja (sacreifice of ativism). Prinsip “prais” inilah yang menjadi kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan kaum tertindas Paulo Freire. Setiap waktu dalam prosesnya, pendidikan ini merangsang ke arah diambilnya suatu tindakan, kemudian tindakan itu direfleksikan kembali, dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus-menerus sepanjang hidup seseorang:
Pada saat bertindak dan berpikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, maka setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Karena itu, Freire juga menyebut model pendidikannyasebagai “pendidikan hadap masalah” (problem posing education). Anak-didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru.
Jadi keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, seling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbagan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun menjadi hubungan subyek—subyek, bukan subyek—obyek. Obyek meraka adalah realitas. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama. Membandingkannya dengan pendidikan “gaya bank” yang bersifat antidialogis, Freire menggambarkannya secara skematis, sebagai berikut:
Jadi keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, seling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbagan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun menjadi hubungan subyek—subyek, bukan subyek—obyek. Obyek meraka adalah realitas. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama. Membandingkannya dengan pendidikan “gaya bank” yang bersifat antidialogis, Freire menggambarkannya secara skematis, sebagai berikut:
Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Pendidikan Humanistik Paulo
Freire dan Ki Hadjar Dewantara
Adapun persamaannya dapat dilihat dari pandangan mereka tentang konsep manusia dan pendidikan, meliputi:
1. Pengakuan terhadap keberadaan fitrah manusia, yakni manusia memiliki kemampuan atau potensi dalam dirinya untuk berkembang.
2. Humanisasi pendidikan, yakni menjadikan pendidikan sebagai media pembentukan manusia seutuhnya, dan pembebasan sebagai tujuan pendidikan. Yakni terciptanya manusia yang bebas untuk memperoleh kehidupan yang layak sebagai manusia.
3. Sama-sama memandang pendidik sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan untuk memberi arahan atau tuntunan, juga menjadi fasilitator dan motivator bagi peserta didik.
4. Seperti halnya pendangannya mengenai manusia, kedua tokoh tersebut juga memandang peserta didik sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk memahami diri sendiri menurut kodratnya. Oleh karena itu, tidak sepantasnya peserta didik mendapat tekanan atau paksaan yang bisa menghambat perkembangan potensinya.
Sedangkan perbedaan pemikiran pendidikan humanistik kedua tokoh tersebut tidaklah banyak karena dasar yang mereka pakai sama-sama inginmemanusiakan manusia secara utuh, adapun hasil analisis mengenai perbedaanya meliputi:
1. Tujuan pokok kedua tokoh tersebut memang pemanusiaan, tetapi landasan dasarnya berbeda, pendidikan Freire ingin mengkonstruk pendidikan sebagai media untuk keluar dari belenggu penindasan. Sedang Ki Hadjar, lebih mengutamakan nilai luhur, kebudayaan atau
budi pekerti, yang dari situ, nantinya akan tercipta rasa kasih sayang atau saling menghormati sesama dalam diri setiap individu.
2. Dalam metode yang digunakan, Freire dengan metode hadap masalahnya,mengembangkan paserta didik untuk berfikir lebih kritisdalam menghadapi masalah dan memecahkan masalahnya. Sedang Ki Hadjar menggunakan metode Among yang bersifat menuntun atau
membimbing peserta didik agar dapat mengembangkan potensinya secara utuh. Akan tetapi keduanya juga menggunakan dialog atau partisipasisiswa sebagai cara efektif untuk belajar.