- Back to Home »
- sejarah pergerakan nasional »
- MAKALAH BUDI UTOMO, SARIKAT ISLAM, INDISE PARTIJ PELETAK PONDASI AWAL KEBANGSAAN
Posted by : Marketing IndiHome
Jumat, 05 Oktober 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada sekitar abad ke-20 masih banyak sekali rakyat Indonesia yang tidak dapat membaca dan menulis. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian berupa catatan tentang orang-orang yang dapat membaca dan menulis di Pulau Jawa yang pernah dilakukan oleh Mahlenfeld yang dimuat dalam harian de Locomotief.
Di Pulau Jawa rata-rata dari 1000 orang hanya 15 orang saja yang dapat membaca dan menulis. Daerah Madiun dari 1000 orang hanyaa 24 orang yang tidak buta huruf, di Madura terdapat 6 orang, sementara itu di Tangerang, Jatinegara, dan Karawang terdapat masing-masing 1 orang. Melihat hasil catatan tersebut nyatanya kondisi pendidikan dinegara ini sangat memperihatinkan. Keadaan menyedihkan ini disadari juga oleh para pelajar Jawa, yang pada waktu itu menjalani pendidikan di STOVIA. Para pelajar ini termasuk orang yang beruntung karena masih bisa mengenyam pendidikan pada masa itu. Meskipun demikian sebagian besar rakyat Indonesiabaik dalam bidang Spiritual maupun material masih terlambat.
Oleh karena itu, muncullah keinginan untuk mendirikan suatu perhimpunan pelajar yang bertujuan mempercepat usaha kearah kemajuan rakyat. Ada banyak perkumpulan para pemuda Indonesia yang berusaha ingin merubah nasib rakyat Indonesia menjadi lebih baik lagi yang telah banyak dibentuk pada masa Pergerakan Nasional sampai masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Diantaranya Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Untuk mengetahui lebih jelas lagi, kami akan memaparkan lebih luas lagi tentang organisasi-organisasi tersebut.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanamunculnya Budi Utomo?
2. BagaimanamunculnyaSarekat Islam?
3. BagaimanamunculnyaIndische Partij?
C. Tujuan
Mengetahui organisasi-organisasi awal Pergerakan Nasional Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Organisasi-organisasi Awal Pergerakan Nasional Indonesia
Keadaan bangsa Indonesia yang sangat memprihatinkan terutama terlihat dalam bidang pendidikan dimana banyak sekali rakyat Indonesia yang buta huruf. Hal ini mendorong banyaknya bermuncullan pemuda-pemuda yang peduli terhadap penderitaan masyarakat Indonesia yang semakin tertindas oleh penjajah saat itu, yang semakin berada dalam jurang kebodohan, sehingga mereka bersatu untuk membentuk sebuah organisasi yang akan merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik lagi. Organisasi-organisasi yang didirikaan oleh para pemuda tersebut pada awal pergerakan nasional diantaranya:
1. Budi Utomo
Kondisi sosial ekonomi yang semakin buruk sekitar abad ke-20 membuat rakyat Indonesia berada dalam kemelaratan dan kesengsaraan. Sebagai akibat politik etis yang didalamnya terkandung usaha memajukan pengajaran maka pada dekade pertama abad ke-20 anak-anak Indonesia masih mengalami kekurangan dana belajar. Keadaan ini menimbulkan rasa keprihatinan dr. Whidin Sudirohusodo untuk dapat menghimpun dana, sehingga pada tahun 1906-1907 beliau melakukan propaganda berkeliling Jawa. Ide yang baik dari dr. Whidin Sudirohusodo ini diterima dan disambut baik oleh Sutomo yakni seorang mahasiswa School Tot Opleiding Voor Inlandsche Arsten(STOVIA) yang kemudian menjadi awal beririnya organisasi yang bernama Budi Utomo. Budi Utomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. [2]
Setelahterbentuknya Budi Utomomakasegeralahdilakukankongrespertama Budi utomo, demi kelancarankongresDokterWahidinSudirohusodoberkelilinguntukmencaridukungandandana. Di Jakarta sutomodankawan-kawanmelakukanpersiapankongresdenganmenyebarkansuratedarandanmencariunagkekanandankekiri demi kelancaranpelaksanaankongrespertama Budi Utomo. Padaakhirnyakongres Budi utomoTerlaksanapadatanggal 3-4 Oktober 1908 di Yogyakarta.Dalamrapatkongres yang pertamainiterjadiperdebatan yang cukuphangat demi kamajuanbangsa.Akhirnyadalamkongres inimenerimausulandariJakartadanmenetapkansebagaitujuanperkumpulan, kemajuanselarasuntuknegaradanbangsa, terutamakemajuanpengajaran,pertanian, peternakan, perdagangan, teknik industri,kesenian, danpengetahuan.[3]Dalamkongrestersebutjugamemutuskan Kota Yogyakarta sebagaipusatperkumpulandan R.T. TirtokusumobupatidariKarangAnyarsebagaiKetua Budi Utomo yang pertama.
Corak baru yang diperkenalkan Budi Utomo adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas, dan anggota. Yang sangat menarik pada Budi Utomo adalah organisasi ini diikuti oleh organisasi lainnya dan dari sinilah terjadi perubahan-perubahan sosio-politik.[4]
Kemuncullan Budi Utomo ini merupakan suatu kebangkitan ditimur dalam arti luas kebangkitan budaya timur. Walaupun demikian ada orang-orang yang tidak senang terhadap lahirnya Budi Utomo terutama dikalangan priyayi gedhe. Pada tahun 1908 di Semarang para Bupati membentuk perkumpulan Regenten Bond Setia Mulia guna mencegah cita-cita Budi Utomo yang dianggap telah mengganggu stabilitas sosial mereka.
Pancaran etnonasionalisme makin membesar. Hal ini dibuktikan dalam kongres BU yang diselenggarakan pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Dalam waktu singkat didalam Budi Utomo terjadi perubahan orientasi yakni jika semula orientasinya terbatas pada kalangan priyayi maka menurut berita yang dimuat dalam Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 23 Juli 1908, BU cabang Jakarta mulai menekankan cara bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat. Dalam kongres itu terdapat dua prinsip perjuangan dimana yang pertama diwakili oleh golongan muda yang cenderung menempuh jalan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial, sementara yang kedua diwakili oleh golongan tua yang ingin tetap pada cara lama yaitu perjuangan sosio-kultural.
Kemudian dalam kongres Kedua Budi Utomo yang di lakukan di Jogjakarta 11-12 Oktober 1909, Dr. cipto Mangunkusumo mengusulkan agar Budi Utomo membuka sistem penerimaan keangotaan yang tidak terbatas dari bangsawan jawa semata, tapi terbuka bagi Anak hindia, yang lahir, hidup dan mati di tanah hindi, namun Usul ini ditolak.[5]
Bagi golongan muda perjuangannya itu sangat tepat guna memberikan imbangan politik pemerintah. Orientasi politik semakin menonjol dan kalangan muda mencari organisasi yang sesuai dengan mendirikan Sarekat Islam dan Indische Partij sebagai wadahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun ada kelompok muda yang radikal tapi kelompok tua masih meneruskan cita-cita Budi Utomo yang mulai disesuaikan dengan perkembangan politik. Pada tahun 1914 ketika pecah Perang Dunia 1, Budi Utomo turut memikirkan bagaimana mempertahankan Indonesia zari serangan luar dengan mengadakan milisi yang diberi wadah dalam Komite Pertahanan Hindia( Comite Indie Weebaar).Pada waktu dibentuknya dewan rakyat (Volksraad) pada tahun 1918 wakil-wakil BU duduk didalamnya yang jumlahnya cukup banyak dan hal ini karena pemerintah tidak menaruh curiga terhadap BU dan juga karena sifatnya yang sangat moderat.
Kebijakan politik yang dilakukan pemerintah kolonial, khususnya tekanan terhadap pergerakkan nasional maka BU mulai kehilangan wibawa, sehingga terjadilah perpisahan antara kelompok moderat dan radikal.pengaruh Budi Utomo makin berkurang dan pada tahun 1935 organisasi itu bergabung dengan organisasi lain men jadi Partai Indonesia Raya (Parindra).
Dalam perjalanannya, Budi Utomo dengan fleksibilitasnya itu mulai menggeser orientasinya dari kultur ke politik. Organisasi Budi Utomo ini bukan hanya dikenal sebagai salah satu organisasi nasional yang pertama di Indonesia tetapi juga sebagai salah satu organisasi yang terpanjang usianya yakni sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia.[6]
2. Sarekat Islam
Sarekat Dagang Islam merupakan cikal bakal dari sarekat Islam, Sarekat dagang Islam didirikan pada 16 Oktober 1905 di surakarta Oleh Haji Samadhoedi.[7]Anggota-anggotanya adalah para pengusaha batik di Surakarta. Guna memperluas informasimaka diterbitkan pula bulletin Taman Pewarta. Dan kemudian juga melakukan kerjasama dengan pengusaha cina.
KebangkitanSarikatDagang Islam merupakan lambanggerakanpembaharuansistemorganisasi.Denganmenanamkanorganisasinyadengannama Islam, gerakanusahanya yang islami, dan di pimpinolehseorang haji, menjadikanSarikatdagangislammemperolehtempat di hatimasyarakatmuslimluas
Berdirinya Sarekat Dagang Islam ini disambut baik oleh para pengusaha batik dengan harapan organisasi ini bisa membantu mereka agar dapat membeli bahan batik yang lebih murah. Meskipun untuk bergerak secara sah harus menyusun anggaran dasarnya untuk disahkan oleh pemerintah. Namun, Haji Samanhudi merasa tidak mampu untuk menyusunnya sehingga beliau meeminta bantuan kepada seorang pelajar Indonesia yang bekerja diperusahaan Surabaya. Dia adalah Cokroaminoto. Setelah bertukar pikiran, timbullah gagasan dari Umar Said Cokroaminoto untuk mengubah nama Sarekat Dagang Islam karena perkumpulan itu tidak terbatas pada para pedagang saja tetapi juga mempunya dasar yang lebih luas sehingga orang islam yang bukan pedagang pun bisa menjadi anggota. Ide ini pun diterima dengan baik oleh Haji Samanhudi.
Pada tanggal 10 September 1912 berdirinya Sarekat Islam disampaikan kepada notaris yang selanjutnya akan disahkan sebagai badan hukum oleh pemerintah. Para anggota menyiarkan berdirinya perkumpulan ini kepada kaum muslimin. Berdirinya perkumpulan ini disambut baik oleh kaum muslimin karena asa dan tujuan Sarekat Islam yang praktis dan sesuai dengan selera kehidupan kaum muslimin. Sehingga dalam waktu singkat perkumpulan ini telah memperoleh banyak anggota. Meskipun permohonan untuk diakui sebagai badan hukum sempat ditolak oleh pihak yang berwajib, akhirnya pada tanggal 8 Maret 1916 diputuskan oleh pihak yang berwajib untuk memberikan pengakuan sebagai badan hukum.[8]
Kongres pertama SI dilakukan pada bulan Juni 1916 di Bandung yang dihadiri oleh 80 SI lokal yang meliputi 360.000 orang anggota. Kongres ini merupakan “Kongres Nasional karena SI mencita-citakan supaya penduduk Indonesia menjadi satu bangsa. Sebelum selanjutnya diadakan Kongres SI kedua di Jakarta pada tahun 1917, muncul aliran revolusioner sosialistis yang diwakili oleh Semaun yang pada waktu itu menjadi ketua SI di Semarang. Akan tetapi kongres tetap memutuskan bahwa azas perjuangan SI adalah mendapatkan pemerintahan sendiri. Selain itu, ditetapkan pula azas kedua yakni perjuangan melawan penjajahan dari kapitalisme yang jahat. Sejak saat itu pula Cokroaminoto dan Abdul Muis mewakili Srekat Islam dalam dewan rakyat.
Pada tahun 1918 kongres ketiga Sarekat Islam dilaksanakan di Surabaya. Keanggotaan SI semakin meningkat hal ini dibuktikan dengan hadirnya anggota yang mencapai 450.000 yang berasal dari 87 Sarekat Islam lokal.Selanjutnya kongres SI keempat tahun1919, SI memperhatikan gerakan buruh atau Serikat Sekerja karena SS akan memperkuat kedudukan partai politik dalam menghadapi pemerintah kolonial.
Perubahan-perubahan dalam tubuh SI dapat dilihat dari kongres-kongresnya. Setelah terjadi peristiwa Cimareme dan kasus AfdelingB maka pada akhir tahun 1919 diselenggarakan kongres SI keempat. Suasana pada saat itu sangat lesu namun perjuangan SI tetap ditegakkan dengan landasan perjuangan antar bangsa yang ini berarti perjuangan melawan pemerintah kolonial harus terus dilakukan. Pengaruh sosial-komunis pun telah masuk ketubuh SI baik itu pusat maupun cabang-cabangnya. Setelah itu mempunyai wadah dalam organisasi yang disebut Indische Sociaal Democratische Vereniging(ISDV).
Pada tahun 1921 kongres kelima dilaksanakan. Semaun melancarkan kritik terhadap kebijakan SI Pusat sehingga timbul perpecahan. Disatu pihak yang dipimpin oleh Semaun menginginkan aliran ekonomi dogmatis sementara itu pihak lain yang dipimpin oleh Cokroaminoto adalah aliran nasional keagamaan. Kedua aliran ini tidak dapat dipersatukan. Didalam kongres SI keenam yang diselenggarakan pada akhir tahun 1921 disetujui adanya disiplin partai. Akibatnya Semaun dikeluarkan dari SI karena berlaku ketentuan bahwa tidak diperbolehkannya merangkap dengan partai lain. Terdapat dua aliran SI yaitu yang berazaskan kebangsaankeagamaan berpusat di Yogyakarta dan yang berazas komunis di Semarang.
Kongres ketujuh diselenggarakan di Madiun pada tahun 1923 yang memutuskan bahwa Sentral Sarekat Islam diganti menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Azas perjuangan PSI adalah nonkoperasi artinya organisasi itu tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial, tetapi organisasi itu mengizinkan anggotanya duduk dalam dewan rakyat atas nama diri sendiri. Tujuan PSI sendiri ialah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama islam. Nama PSI ditambah dengan Indonesia untuk menunjukkan tujuan perjuangan kebangsaannya dan kemudian pada 1927 menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia(PSII).
3. Indische Partij
Pada tahun 1912 Indische Partij didirikan oleh Tiga serangkai yakni dr. Cipto Mangunkusumo, Dowes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara. Indische Partij merupakan organisasi partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.Tujuan IP adalah
1. Menumbuhkan dan meningkatkan jiwa persatuan dua golongan untuk memajukan tanah air dengan dilandasi jiwa nasional.
2. Mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.
Keanggotaan Indische Partij terbuka untuk semua golongan tanpa membedakan tingkatan kelas ataupun kasta. Golongan-golongan yang menjadi anggota indische partij diantaranya golongan Bumiputera, golongan Indo, Cina, dan Arab.[9]
Cita-cita perjuangan Indische Partij disebarkan melalui surat kabar De Express. Karena Indische Partij merupakan partai yang tegas dan menyatakan keinginannya memerdekakan Indonesia maka Belanda melarang organisasi ini beroperasi. Walaupun demikian, tokoh-tokoh Indische Partij tetap berjuang. Hal ini dapat dilihat saat Ki Hajar Dewantara megkritik pelaksanaan HUT kemerdekaan Belanda di Indonesia melalui tulisan Als Ih Een Nederlender ( seandainya saya seorang Belanda) yang didalamnya berisi sindiran terhadap ketidakadilan di daerah jajahan.Isi tulisan tersebut kurang lebih sebagai berikut, “Sekiranya saya seorang Belanda, maka saya tidak akan merayakan pesta-pesta kemerdekaan di dalam suatu negeri yang kami sendiri tidak sudi memberikan kemerdekaan negeri itu”. Akibatnya, oleh pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal A.F. van Idenburg, artikel itu dianggap menghasut dan akhirnya tiga serangkai diasingkan ke negeri Belanda.Selama masa pembuangan di Belanda, Tiga Serangkai ini tetap melancarkan aksi politiknya dengan menerbitkan majalah” De Indier” yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Sampai pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo dipulangkan ke Indonesia karena menderita sakit keras sementara itu Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker baru kembali pada tahun 1919.Perjuangan Indische Partij memang sangat singkat, namun tujuannya telah memberi warna baru bagi organisasi pergerakan nasional yakni adanya semangat nasionalisme yang mendalam untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keadaan bangsa Indonesia yang sangat memprihatinkan terutama terlihat dalam bidang pendidikan dimana banyak sekali rakyat Indonesia yang buta huruf. Hal ini mendorong banyaknya bermuncullan pemuda-pemuda yang peduli terhadap penderitaan masyarakat Indonesia yang semakin tertindas oleh penjajah saat itu, yang semakin berada dalam jurang kebodohan, sehingga mereka bersatu untuk membentuk sebuah organisasi yang akan merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Organisasi-organisasi yang didirikaan oleh para pemuda ini yakni organisasi Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Berdirinya organisasi-organisasi ini telah memberi warna baru bagi organisasi pergerakan nasional yakni adanya semangat nasionalisme yang mendalam untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia. [1]Slamet Mulyana, 2008, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid 1, Yogyakarta: LKIS, Hal. 11-12.
[2]Suhartono, 2001, Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hal.30
[5]Ahmad Masur Suryanegara,2009, ApiSejarah. Bandung:Salamadina Hal345
[6]Suhartono,op. Cit.Hal.30-32
[7]Ahmad MasurSuryanegara,.op. cit. Hal 354
[8] Slamet Mulyana, Op. Cit. Hal. 121-123.
[9]Nasruddin Anshoriy, dkk, 2008, Rekam Jejak Dokter Pejuang dan Pelopor Kebangkitan Nasional, Yogyakarta: LKIS, Hal. 37-38