- Back to Home »
- Sejarah Asia Timur »
- Perang Dunia 2, Peristiwa Serangan Bom di Nagasaki
Posted by : Marketing IndiHome
Selasa, 20 Maret 2012
Nagasaki dan Radiasi
Aku tak pernah tahu mengapa aku dilahirkan dengan nama Hikari Setsuko pada tanggal 9 November 1931 di kota Nagasaki. Kehidupanku sudah berbeda dengan kehidupan wanita lain di dunia ini. Ketika orang lain tetap bersekolah pada usia 14 tahun, aku dan teman-temanku harus bekerja. Pada jaman itu para pemuda umumnya dikirim ke medan perang. Karena kurangnya tenaga kerja, terpaksa kaum wanita di pekerjakan di pabrik-pabrik pembuatan alat perang. Setipa hari kaum wanita diharuskan bekerja untuk keperluan perang sehingga tidak ada waktu lagi untuk bersekolah. Kebetulan pada tanggal 6 Agustus 1945 merupakan hari libur, jadi aku tidak harus masuk kerja. Aku putuskan untuk tinggal di rumah agar bisa beristirahat lebih lama. Karena aku sadar walaupun hidup ini berat dan harus bekerja keras, aku juga harus punya waktu untuk mengistirahatkan tubuhku.
Letak rumahku berada sekitar 1,7 km dari pusat meledaknya bom atom. Aku yang berada dalam rumah saat itu, seperti melihat kilat menyambar dengan cahayanya yang dasyat dalam sekejap. Dengan sambaran cahaya yang tak sampai sedetik itu, orang yang berada di luar, di alam terbuka, langsung terbakar mati. Setelah cahaya itu, terdengar bunyi yang dasyat, seperti ada gempa bumi yang besar yang membuat aku terperanjak dan tubuhku seperti dibanting ke lantai. Rumahku runtuh dalam sekejap. Aku merasa sesak nafas. Aku sangat bersyukur karena rumahku terbuat dari kayu sehingga aku dapat keluar dari reruntuhan kayu rumahku setelah berusaha sekuat tenaga.
Sesudah keluar dari reruntuhan, aku menyadari tubuhku penuh luka goresan dan berlumuran darah. Pakaian yang melekat di tubuhku sobek-sobek. Saat aku melihat keadaan di sekelilingku, semua rumah telah runtuh hanya terdengar teriakan minta tolong. Orang tidak mau keluar dari runtuhan bangunan, terbakar begitu saja seperti daging terpanggang. Karena hampir semua yang masih hidup terluka parah, tidak ada tenaga untuk menolong satu sama lain. Masing-masing hanya bisa berusaha menyelamtkan diri, dan bergerak tak tahu arah.
Aku dan ibuku bergerak menuju tempat tebuka, sebuah taman yang dekat. Setiap orang yang aku temui saat itu, mengalami luka bakar dengan rambut tegak berdiri. Tubuh manusia dengan kulit terkelupas terurai, dengan mata yang tercopot keluar. Wajah para korban saat itu banyak yang tidak bisa dikenali lagi. Sangat mengerikan melihat pemandang saat itu. Semua orang ketakutan dan berusaha melangkah untuk menyelamatkan diri. Sementra itu api muncul di mana-mana membakar reruntuhan bangunan. Semua menjadi korban dan tak ada yang bisa memadamkan kobaran api. Kota Hiroshima menjadi lautan api.
Pada hari berikutnya kota Hiroshima menjadi seperti kebun yang baru selesai dibakar. Hujan pun turun seperti butiran-butiran hitam kelap. Asap hitam yang melambung ke udara mengundang hujam hitam dan menghujani Hiroshima yang telah terbakar. Dengan hujan ini, ada rasa gembira sedikit. Kami berusaha mendinginkan tubuh dangan mandi air hujan yang kotor hitam yang mengandung radiasi atom itu. Kami melalui malam itu di alam terbuka. Di sekitar terdengar tangisan akibat sakit dari luka bakar, dan banyak yang tidak hidup lagi waktu pagi datang menyongsong.
Pada hari kedua itu aku dan ibuku mulai mencari ayah. Kami mencari ayahku yang saat itu sedang bekerja di dekat pusat meledaknya bom atom, kami tetap mencarinya. Aku berkata pada ibuku, “Ibu, aku lelah, kita istirahat dulu”. Ibuku berkata, “jangan menyerah anakku, ayo kita terus mencari ayah, mungkin sebentar lahi kita bertemu orang yang bisa menolong kita”. Mendengar perkataan ibu, semangatku kembali membara untuk mencari bantuan. Kami menanyakan kabar ayah kami pada setiap orang yang kami temui, tapi tak ada yang mengetahuinya. Dalam percarian ini, tiba-tiba aku mulai merasakan sakitnya kakiku yang terusuk gelas.
Manusia yang masih bisa bernafas yang saya temuai beruhasa beteriak “Air, air”. Setiap mendengar suara manusia, “Tolong kasi air” yang mereka keluhkan. Mereka tidak mengeluh “Sakit” atau “Pedih” tapi mereka selalu mengeluh “Haus”. Tubuh dan jiwa korban bom ini “Haus”. Kami berpikir utuk, membuat pembakaran yang layak untuk sesama yang telah meninggal. Kami mengumpulkan kayu dan menumpuk mayat di atasnya menyiram dengan minyak tanah, lalu membakarnya. Dengan cara ini, mayat akhirnya menjadi tulang terbakar. Wajah kota Hiroshima berubah menjadi seperti kuburan massal.
Hal yang sangat aku syukuri adalah ubi jalar yang di tanam para tentara Jepang di bekas bangunan rumah tentara, walaupun terkena bom atom, tetap bisa hidup dan membuahkan hasil. Dengan itu orang yang masih hidup bisa makan ubi untuk menyambung hidup. Namun setelah beberapa minggu berlalu, sesuatu yang menakutkan muncul. Mereka yang kelihatan sehat dan tak terluka, tiba-tiba mengalami pendarahan hidung, sakit perut dan rambut rontok lalu meninggal. Kemudian diketahui bahwa itu adalah masih akibat radiasi bom atom. Kemudian tiba-tiba aku tak bisa membuka mataku karena banyak sekali asap.
Akhirnya aku tahu bahwa ayahku telah meninggal seminggu kemudian. Sehari setelahnya ibuku juga meninggal akibat radiasi. Mataku pun terkena radiasi. Setahun setelah tragedi itu, aku menjadi phobia terhadap api karena semua inderaku mengingatkan betapa menakutkan dan mengerikan api itu. Kini aku hidup dengan penuh syukur bersama suami dan kedua anakku.